Pertama kali mendengar bahwa film ini menggambarkan sosok Ahmad Dahlan, saya langsung bersemangat untuk monontonnya. Darah ke-Muhammadiyah-an yang mengalir deras di tubuh saya memang diturunkan secara turun temurun. Sejak kecil saya sudah digembleng dengan ajaran ke Muhammadiyah an, tetapi satu hal, saya belum mengenal betul sosok Ahmad Dahlan ini. Selama ini saya malah lebih mengenal lebih detail sosok Amien Rais, mantan ketua Muhammadiyah itu daripada pendiri Muhammadiyah itu sendiri.
Sang Pencerah ini menggambarkan kehidupan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) mulai dari lahir sampai dengan beliau mendirikan Muhammadiyah. Ahmad Dahlan kecil ini merasakan bahwa ajaran Islam yang ada di lingkungannya saat itu telah banyak bercampur aduk dengan adat. Ritual/upacara adat, sesaji, sudah `kabur` dengan ibadah sesungguhnya yang berdasar Al Quran dan Hadist. Pada Usia yang masih begitu muda (15 tahun), Darwis memutuskan untuk naik haji dan sekaligus menimba ilmu agama di Arab. Lima tahun kemudian Darwis kembali, dan sejak itulah dia menggunakan nama Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan berdakwah dengan cara yang berbeda, dan selalu mempelajari hal hal baru. Tetapi kyai-kyai di sana merasa tidak senang dengan cara baru Ahmad Dahlan ini, mereka `terlalu` mewarisi ilmu secara turun temurun, dan sulit menerima sesuatu yang baru dan pada akhirnya menganggap bahwa sesuatu yang baru itu merupakan ajaran yang sesat karena berbeda dengan yang telah diajarkan oleh guru mereka terdahulu. Saat Ahmad Dahlan menemukan kesalahan tentang arah kiblat, diapun dianggap kafir karena menggeser posisi sholat sebesar 23 derajat dari semula, bahkan Langgar (musholla) Kidul pun dirobohkan oleh orang yang tidak setuju dengan Ahmad Dahlan.
Perjuangan Ahmad Dahlan untuk menegakkan Islam sesuai dengan Al Quran dan Hadist ini selalu mendapat dukungan yang luar biasa dari sang istri, Siti Walidah. Tidak hanya dukungan semangat, tetapi juga materi. Setelah berhasil menjadi pengajar Agama Islam di sekolah Belanda, Ahmad Dahlan menyadari perlunya mendirikan sekolah untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, akhirnya beliau pun mendirikan sebuah Madrasah Ibtidaiyah dengan bantuan istri dan murid-muridnya.
Akhirnya pada tahun 1912 Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, yang tidak hanya bergerak di bidang keagamaan, tetapi juga pendidikan, dan sosial.